Senin, 07 November 2011

KAPANKAH KU HARUS BERHENTI BERLARI

Kapankah ku harus berhenti berlari

disaat kulihat diri
ada refleksi embun dikala pagi hari
langit tampak gelap kebiruan
burung camar terbang ke arah selatan
serta kokokan ayam jantan berseru

ku melintas jalan itu
jalan yang belum pernah kulalui sebelumnya
tidak banyak orang disana
hanya segelintir namun tak kukenali
satu langkah demi langkah lainnya mulai tercipta

"hai!"
"selamat pagi!"
tersemat dari mulutku
dengan nada nada manis yang terlontar begitu saja
jejak langkah kakiku seakan masih ada dan takkan terhapus

Ia seorang peri
memiliki tongkat ajaib yang dapat mengabulkan permintaan
sayap kecil yang terus terkepak tiada hentinya
Iapun meminta untuk mengatakan permintaanku
permintaan ini bukan untukku, tetapi untuknya
agar ia dapat menuntaskan kewajibannya

terbanglah disampingku
lambaikan tongkat ajaib itu seiring dengan hentakkan jejak kakiku
biarkan cahaya kelap kelip sayapmu menerangi langkahku untuk maju
dan selalu tataplah mataku

maka setapak bebatuan tersusun rapi
terkadang jatuh diatas tanah yang liat
terkadang mengambang diatas pasir lautan
tiga atau empat cabang tidak jarang pula kami temukan
namun hanya satu yang tidak ada retakannya

telah lama sang matahari menyinari
dan juga sang rembulan yang memberikan cahaya walau redup
Alam bertanya kepada kami tentang tiga hal yang menurutnya sederhana
apakah bisa cacing dan burung saling mencintai
apakah bisa gunung dan lautan saling berpelukan
dan apakah bisa langit dan bumi saling bergenggaman tangan

air dan api terlihat berhempasan satu sama lain
spektakuler pada satu titik
namun lebur sisanya bagai sampah yang berhamburan
sekeras besi menampar debu yang berterbangan
tanpa tersisa

kami bukanlah angkasa yang padam
kami hanyalah dua kutub berlawanan
yang mencoba untuk tidak melepaskan eratnya cengkraman
walau cakar itu melukai kedua belah tangan kami
tatapan mata itu dikelilingi seribu umpatan yang tidak terpedulikan

rasa itu merupakan indikasi yang baru saja tersadari
tiap hentakan kaki-kaki itu dengan mudahnya lewat
retakan kecil memang tidak akan kasat oleh lensa yang buram
apalah arti ribuan tetes air mata
dibandingkan dengan jutaan ranting yang terbakar dibawahnya

sepasang kaki itu tidak lagi terlihat berjalan dengan santai
sepasang kaki itu berlari tiada henti ke arah yang berlawanan
hati itu tidak bisa digambarkan begitu saja sebagai batu yang retak
elemen-elemen busuk khas duniawi telah meliputinya
dan jalan itupun sudah hilang di dalam roda logikanya
jalan yang retak itu

berlari diatas batuan yang retak
berlari diatas tanah yang liat
berlari diatas pasir lautan
berlari menuju cahaya ditengah kegelapan yang pekat
berlari menuju kegelapan disela-sela cahaya terang itu

tambang?
sesaat kedua kaki itu berhenti untuk menggasakan telapaknya
mata itu kemudian terbelalak keatas
seperti seekor lebah kelaparan yang mencium manisnya madu
aliran cahaya jingga itu tertuang ke dalam emosi

hal ini terlalu surgawi untuk menjadi nyata
layaknya oase di tengah planet padang gurun
belum juga tatapan itu berhenti berpaling
satu dua langkah terdengar menjauh
"apakah ini yang aku mau?" serunya

tidakkah harus kuhiraukan aliran air terjun itu walau aku seorang api
tidakkah harus kudengarkan lolongan ribuan anjing walau aku seekor kucing
manusia itu terpaku melihat hal yang sangat ambigu
dia bertanya, "apakah sebenarnya yang membuatku sedih?"
"apakah sebenarnya bilah yang tertancap di hatiku ini"

yang aku inginkan hanya untuk membelai rambutnya yang berkilau
untuk dapat menyentuh kulitnya yang halus
untuk menatap tajam matanya yang hitam
dan untuk menggenggam hatinya yang rapuh supaya tidak jatuh ke dasar jurang
haruskah jalan setapak dan bebatuan yang retak itu datang kembali

mimpi malam itu terlalu hebat untuk terhapus sapuan ombak
ku melihat tiga belas bintang yang membentuk rasi kupu-kupu
serta bulan yang menjadi bunga di hamparan rerumputan terang
apakah dirimu satu dari ratusan kunang-kunang yang terbang
ataukah satu dari dedaunan yang bertebaran

aku tahu disini ada yang buta
apakah itu sebelah mataku
apakah itu dirimu
ataukah seluruh sisa dunia

yang terbayang di benak yang terdalam hanyalah teka-teki tak terpecahkan
bagaimana jika rumput itu kehilangan hijaunya
bagaimana jika madu itu kehilangan manisnya
bagaimana jika melati itu kehilangan harumnya
akankah aliran pasir waktu berjalan dengan semestinya

energiku telah terkuras pada perputaran otakku yang tidak wajar
serta aliran emosi dari dalam tubuh yang seakan telah karam ke dasar lautan
ku melihat dia namun disaat yang bersamaan aku melihat sebuah siluet
siluet itu berisikan ribuan galaksi dari satu alam semesta
namun rasa ini hanya berasa hampa, kosong, tidak ada satu

langkahku tetap gelap gulita seperti debu yang jatuh di atas tinta
kulihat kiri dan kanan namun cahaya seolah menggerutu dan usang
sayap itu ada namun tidak berfungsi
makna apa yang terbentuk dari vas bunga yang telah retak di setiap sudutnya
tetap mencari dari mana hembusan angin sejuk itu berasal

meskipun bintang itu menundukan kepalanya untuk menciumku
kurasa mataku tidak akan terbuka untuk menyambut kehangatan itu
walaupun bulan menyerukan namaku berulang kali
telingaku mungkin hanya akan berdengung semu
seraya bisikan dari lorong perputaran kegilaan itu saja yang terdengar

aku tahu dia disana
dia bukanlah dia
aku tahu logika ini akan menemukan jalannya suatu saat
dan aku yakin emosi ini akan menjejakan kakinya pada sebuah persimpangan
saat itulah aku menjadi utuh walau tanpa dia, dan berhenti berlari